Setiap manusia selalu melewati masa kecil atau anak-anak. Anak
(jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum
dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan
kedua, dimana kata “anak” merujuk pada lawan dari orangtua, orang
dewasa adalah anak dari orangtua mereka, meskipun mereka telah dewasa.
Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan mental
seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang
sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah
urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah
“anak”.
Pada saat sekarang ini kehidupan masa kecil anak-anak
masyarakat Indonesia, banyak terenggut oleh kehidupan yang menuntut
mereka untuk bekerja dan pendidikan yang mengarah kepada pendidikan
formal dibanding kepada pendidikan yang mengarah kepada dalam lingkungan
keluarga. Kondisi anak sekarang Cenderung di tuntut untuk menyelesaikan
pendidikan formal, tanpa memperhatikan kondisi psikologis perkembangan
anak. Sebagai Contoh; pada pendidikan usia dini atau lebih dikenal
dengan istilah Taman Kanak Kanak (TK), seorang anak sudah di tuntut
untuk bisa membaca dan berhitung dari pada bermain. Pola pendidikan
seperti ini muncul dari dunia Barat, bahwa pendidikan formal harus
dilakukan sejak usia dini. Sehingga akhirnya masyarakat kita sangat
ketergantungan kepada yang namanya pola pendidikan Barat, sampai dengan
pendidikan atau perguruan tinggi.
Kita harus menyadari bahwa semua tindakan manusia akan
mengalami dampak terhadap kebutuhan untuk menunjang kelengkapan demi
menunjang pola pendidikan seperti itu, Seperti membeli mainan modern,
buku yang mahal dan alat peraga pendidikan yang di hasilkan dari
pabrik-pabrik yang berasal dari barat. Keadaan pola hidup seperti ini
akhirnya mengakibatkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, hingga
akhirnya ada pengelompokan orang miskin dan orang kaya. Pengelompokan
ini juga akhirnya berpengaruh kepada pola pendidikan anak-anak, bagi
mereka yang termasuk orang miskin tidak bisa memasukan anaknya kepada
pendidikan orang kaya karena biaya pendidikan yang mahal. Mainan untuk
orang-orang kaya sendiri akhinya mengalami perubahan, mereka tergantung
kepada hasil perbuatan pabrik-pabrik. Sedangkan permainan untuk
orang-orang miskin bersifat murahan dan kotor.
Pada zaman sekarang kita harus menggarisbawahi kalau ternyata
tempat bermain anak-anak sendiri sudah di sekat-sekat atau digolongkan.
Bagi anak-anak dari orang kaya mereka tidak diperbolehkan untuk bermain
di tempat anak-anak orang miskin karena di indentikan dengan kotor. Anak
orang kaya kecenderungan bermain di tempat permainan yang sudah
dikelola secara profesional, rapih dan bersih. Bagi anak-anak dari
golongan orang miskin biasanya mereka bermain di tempat-tempat kotor
seperti lapangan tanah, hutan, pinggir kali, dll.
Keadaan yang dikondisikan oleh lingkungan pendidikan barat dan
tuntutan yang lebih ini akhirnya membawa anak-anak kepada pola permainan
yang jauh dari permainan rakyat atau tradisional. Mainan tradisional
dinggap sebagai mainan kelas bawah, kotor, berbahaya, dan tidak
berkualitas. Kondisi seperti ini akhirnya menghantarkan anak-anak kita
kepada ketidaktahuan akan permainan tradisional yang sudah jauh
berkembang sebelum mereka lahir.
Permainan tradisional sebenarnya sebenarnya selalu berkaitan
dengan alam sekitar. Ini disebabkan keakraban manusia hidup bersama alam
dalam kesehariannya. Hukum alam dipahami sebagai ‘hukum Tuhan’ yang
sangat dipatuhi, sehingga ketika manusia akan bersentuhan dengan alam,
mereka akan sadar diri akan Tuhannya. Hubungan harmonis ini selalu
dilestarikan melalui sikap hidup sehari-hari, termasuk dalam menyiapkan
generasi penerus. Kesadaran itu diterapkan dalam tata asuh anak yang
mampu menjaga dan menghormati alamnya.
Permainan dan mainan sangat dekat sekali dengan pola
perkembangan hidup seorang anak bahkan permainan ini akan mampu
mengembangkan daya pikir anak anak secara tidak langsung. Permainan
tradisional pada masyarakat Indonesia selain memperlihatkan dengan alam
juga memperhatikan kebutuhan anak dalam mencapai perkembangan usianya,
bahkan material yang digunakan untuk membuat permainan juga tergantung
kepada material yang di sediakan oleh alam. Ini membuktikan bahwa pola
hidup masyarakat di pengaruhi oleh lingkungan alam dan berpengaruh
terhadap perkembangan anak serta mainan dan permainannya.
Kondisi lingkungan bermain bagi anak yang sudah berbeda,
menjadikan permainan tradisional jarang di mainkan oleh anak-anak
sekarang, mereka lebih mengenal jenis permainan yang bersifat elektronik
dan digital. Jenis permainan tradisional seolah-olah tersingkirkan dari
lingkungan anak-anak tergerus oleh permainan modern.
Kalau melihat jenis dan bentuk permainan tradisional di
Indonesia berjumlah sangat banyak, di setiap daerah banyak yang memiliki
kesamaan dalam bentuk tapi penamaan yang berbeda. Keragaman ini
dipengaruhi oleh lingkungan alam yang menyediakan material untuk di
jadikan alat permainan. Kekhasan alam dan lingkungan wilayah Sunda atau
Tatar Sunda, Parahyangan berpeluang terciptanya keragaman jenis mainan
dan permainan yang ada. Latar belakang dan sejarah masyarakat Sunda
termasuk kehidupan ladangnya, berbeda dengan daerah lain di pulau Jawa,
yang kemudian secara bertahap menciptakan pola asuh anak yang berbeda
pula di setiap tempat. Demikian pula jenis dan kerakter lahirnya bentuk
desain mainan dan permainan amat dipengaruhi oleh pola asuh.
Untuk beberapa wilayah pedalaman atau desa-desa adat Sunda,
terutama pada saat upacara adat, permainan tradisional rakyat ini sering
kali di tampilkan sebagai pelengkap dari kegiatan upacara. Seperti yang
terjadi pada upacara seren taun di desa Cigugur Kuningan, mereka menggunakan media gogolekan untuk persembahan kepada Hyang Pohaci.
Pada masa anak-anak gogolekan tersebut merupakan permainan anak yang
dimainkan ketika ikut bersama orang tuanya ke kebun atau ke sawah
meskipun dengan menggunakan material yang berlainan. Hal ini pun sama
terjadi pada alat-alat kesenian di Jawa Barat yang dimainkan oleh orang
dewasa pada saat upacara, selamatan, perayaan, banyak yang menggunakan
alat musik yang pada masa kecil digunakan dan di mainkan seorang anak.
Kekayaan alam, kekayaan lingkungan, kedamaian dan kekayaan rasa
yang membentuk sebuah masyarakat yang sadar akan kepentingan
generasinya melalui tahapan bermain. Kekayaan budaya yang ada dan
melimpah ini adalah sebuah kekayaan yang perlu di pertahankan
keberadaannya karena merupakan hasil karya dan cipta masyarakat Sunda.
Keberadaan mainan dan permainan tersebut tersebar ke berbagai wilayah
Sunda yang berada dalam tempat yang merupakan wilayah kasepuhan yang
dianggap masih mempertahankan budaya Sunda Lama, baik itu yang terbentuk
dari wilayah Kabuyutan, peninggalan kerajaan Sunda, Keratuan, dan
kesatuan-kesatuan yang masih patuh pada aturan-aturan yang ditetapkan
oleh leluhur mereka untuk di taati dan di laksanakan. Di wilayah
Kasepuhan dan Kampung Adat diharapkan mainan anak khas yang lahir di
daerah itu dapat membantu mempertahankan adat dan tradisi leluhur.
Alat mainan tradisional langka dimainkan oleh anak-anak masa
kini, bahkan di pedesaan pun jarang terlihat anak membuat mainan dari
material alam disekitarnya. Mainan modern yang terbuat dari bahan-bahan
plastik, kertas dan logam lebih banyak didapat oleh anak. Di tahapan
pendidikan usia dini secara formal maupun informal, mainan tradisional
hampir tidak diperkenalkan lagi sebagai media bermain anak, hal ini
karena terbatasnya sumber dan data tentang mainan yang ada. Padahal
mainan, hakikatnya dapat dijadikan media belajar bagi anak, seperti
melatih melatih gerak motorik dan kreativitas. Mainan merupakan sebuah
media yang dapat melatih kecerdasan dan keterampilan, namun sayang
mainan tersebut bukan berasal dari budaya masyarakat setempat. Pelbagai
bentuk permainan dan mainan tradisional masyarakat sangat dekat dengan
alam sekitar. Alam hakikatnya menyediakan media mainan yang tak terbatas
bagi anak.
Namun kemajuan teknologi ternyata amat mempengaruhi
perkembangan mainan dan permainan anak tradisional, baik fungsi maupun
pilihan materialnya. Perubahan dan pengembangan mainan yang terjadi di
masyarakat masa kini umumnya dikarenakan keberadaan material alam yang
sulit diperoleh, atau fungsi mainan yang sudah bergeser. Bahkan beberapa
mainan sudah punah dan ada pula yang berubah penggunaan material
dasarnya meskipun fungsinya sama, terutama hal itu terjadi di perkotaan.
Permainan Dalam Masyarakat Sunda
Permainan dan bermain dua hal yang tidak bisa di pisahkan dari
lingkungan anak-anak, permainan rakyat di Sunda jaman dahulu menempati
kedudukan yang penting, hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam
Naskah Siksa Kanda Ng Karesian yaitu naskah yang berasal dari
Kabuyutan Ciburuy yang berada di lereng gunung Cikuray Garut Selatan,
menempatkan seorang yang mempunyai keahlian dalam permainan di
sejajarkan dengan keahlian lain seperti ahli pantun, ahli karawitan,
ahli cerita atau dalang, ahli tempa, ahli ukir, ahli masak, ahli kain
dan keahlian lainnya dalam Siksa Kanda Ng Karesian tertulis “……..Hayang
nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan,
babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu
lesung, asup kana lantar, ngadu nini; singsawatek (ka) ulinan mah empul
tanya…..” (“….Bila ingin tahu permainan, seperti: ceta maceuh, ceta
nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubangubangan, neureuy
panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini:
segala macam permainan, tanyalah empul…” ) (Saleh Danasamita,1986: 83,
107).
Naskah Siksa Kanda Ng Karesiang dinggap sebagai salah satu sumber untuk mengetahui sejarah dan bidaya di tatar Sunda. Di dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesian di sebutkan ada 11 jenis permainan yang ada pada masa itu. Permainan tersebut yaitu : Ceta
maceuh, Ceta nirus, Tatapukan, Babarongan, Babakutrakan, Ubang-ubangan,
Neureuy Panca, Munikeun Lembur, Ngadu lesung, Asup kan lantar, Ngadu
nini. Hal yang menarik adalah adanya kesamaan nama antara nama kawih dan
nama permainan (pamaceuh) adalah pada jenis babarongan, di jenis kawih
juga di sebutkan adanya babarongan jadi dimungkinkan adanya jenis
permainan yang harus di ikuti oleh kawih (nyanyian) babarongan.
Penelusuran langsung dilakukan oleh penulis ke daerah Kabuyutan Ciburuy
di lereng gunung Cikuray Garut Selatan, yaitu tempat di temukannya
naskah Siksa Kanda Ng Karesian.
Dalam pendidikan tradisonal, penghargaan terhadap seorang anak sangat penting hal ini seperti diungkapkan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesian bahwa anak pun bisa menjadi teladan untuk orang dewasa ungkapannya yaitu bahwa mendapat ilmu dari anak disebut guru rare. Mendapat pelajaran dari kakek disebut guru kaki, mendapat pelajaran dari kakak disebut guru kakang, mendapatkan pelajaran dari toa disebut guru ua. Mendapat pelajaran di tempat bepergian, di kampung di tempat bermalam, di tempat berhenti, di tempat menumpang, disebut guru hawan. Mendapat pelajaran dari ibu dan bapak disebut guru kamulan (Saleh
Danasasmita, 1987: 104). Ini membuktikan bahwa kedudukan masing-masing
akan menjadi sebuah teladan bagi lainnya, begitu pula seorang anak
hakikatnya menjadi ‘guru’ bagi yang lainya.
Apa yang ditulis dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesiang
merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat Sunda mencintai permainan
sebagai sebuah cara untuk mendidik anak dan sebagi sebuah hiburan.
Permainan-permainan ini diperkirakan sangat brarti dan Berjaya pada
lingkungan masyarakat Sunda pada zaman dulu terutama pada zaman
kerajaan. Ini semua merupakan sebuah bentuk tingkat kecerdasaan untuk
menciptakan sebuah karya yang sangat di perlukan dalam masyarakat,
mereka sangat memeperhatikan alam sekitar sebagai bahan dan jenis
permainannya, sehingga permainan yang ada sangat di perngaruhi oleh alam
dan lingkungan sekitar.
Jenis-jenis Permainan di Masyarakat Sunda Lama
Berikut adalah beberapa jenis permainan yang berkembang di tatar Sunda:
Bebeletokan
|
Suling
|
Ketepel
|
Anjang-anjangan
|
Encrak
|
Panggal-gasing
|
Sasapian
|
Angsretan
|
Bedil Sorolok
|
Tok-tokan
|
Celempung
|
Karinding
|
Jajangkungan
|
Kukudaan
|
Sesengekan
|
Kelom batok
|
Kokoprak
|
Empet-empetan
|
Bangbara ngapung
|
Ker-keran
|
Sumpit
|
Bedil jepret
|
Rorodaan
|
Gogolekan
|
Keprak
|
Ewod
|
Kekerisan
|
Simeut cudang
|
Sisimeutan
|
Posong
|
Pamikatan
|
Nok-nok
|
Dog-dog
|
Hatong
|
Toleot
|
Hahayaman jukut
|
Dodombaan
|
Kakalungan
|
Golek kembang
|
Kolecer
|
Sanari
|
Keragaman bentuk dengan berbagai variasi dan fungsinya merupakan hasil penghayatan yang mendalam masyarakat Sunda terhadap alamnya, dan merupakan sebuah kajian yang sangat diperlukan dimasa sekarang. Kejelian mereka bukan menaklukan alam (seperti yang banyak terjadi sekarang) tetapi menyelaraskan dengan alamnya. Pola penyelarasan itu adalah upaya mengatur keseimbangan dengan alam lingkungannya, terutama melalui bentuk, material atau media, serta keindahan yang dipancarkan pada karakter mainannya. Keindahan dari mainan masyarakat Sunda umumnya memiliki hubungan dengan mainan yang dikembangkan oleh para leluhurnya. Beberapa mainan diikut sertakan pada upacara-upacara adat sebagai persembahan, atau mainan yang peragakan untuk ‘menghibur’ para arwah leluhur.
Warisan budaya Sunda dalam bentuk permainan ini, pada saat sekarang
sudah banyak ditinggalkan oleh pewarisnya. Mereka lebih menyukai
permainan modern yang berbentuk elektronik. Permainan Tradisional Sunda
sebenarnya mengajarkan anak untuk berkeretifitas, karena selain harus
bisa memainkannya seorang juga diharuskan bisa membuatnya.
Perubahan dan Pengembangan Bentuk Mainan
Kita tidak bisa melawan derasnya arus teknologi, sejumlah
permainan ikut membanjiri pasar anak. Untuk membendung permainan dari
luar dan melestarikan permainan tradisional Sunda berubah dalam bentuk
dan fungsinya, terutama dalam pemakaian bahan sintetis yang dianggap
lebih mudah dan kuat. Pola perubahan terjadi dalam beberapa tahap, dari
mainan yang dianggap masih asli atau dibuat dari material alam sampai
perubahan bentuk modern dengan penggunaan material sintetis. Pengaruh
bentuk mainan buatan luar negeripun ternyata mempengaruhi pula desain
mainan anak tradisional. Peniruan terhadap berbagai jenis mainan yang
ada di masyarakat Sunda berasal dari bentukbentuk yang banyak dilihat
oleh seorang anak di tayangan televisi atau media cetak.
Perubahan dalam berbagai hal ini merupakan sebuah trobosan baru
untuk menjadikan permainan tradisional di sukai oleh anak-anak. Memang
dengan perubahan ini akan banyak memperngaruhi tingkat kereatifitas
anak-anak sebab permainan permainan sekarang di peroduksi secara masal
oleh pabrik-pabrik.
DAFTAR PUSTAKA
Alif, Zaini, Agus Sachari, Ichsan. 2006. “Perubahan Dan Pergeseran
Bentuk Mainan Anak Masyarakat Sunda”; Jurnal Rekacipta Volume II No. 2.
Kelompok Keilmuan Desain & Budaya Visual-ITB. Bandung
Ahmad, Abu. 1977. “ Ilmu Jiawa Anak”. Semarang: Cv. Toha Putra
Aprilia Fajar, Pertiwi. 1955. “ Bermain Dunia Anak”. Jakarta: Yayasan Aspiri Pemuda
Ekadjati, Edi S. 2005. “Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran”. Pustaka Jaya
___________. 2005. “Kebudayaan Sunda ( Suatu pendekatan Sejarah )”. Pustaka Jaya
Iskandar, Yoseph. 1986. “Tanah Kabuyutan Kampung Naga; Kawit”
Koentjaraningrat. 1971. “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Kebudayaan Sunda”.Penerbit Djambatan
Kubarsah R., Ubun. 1994. “Waditra Mengenal alat-alat Kesenian Daerah Jawa Barat”
Lubis, Nina H. 2003. “Sejarah Tatar Sunda, Jilid I”. Lembaga Penelitian Universiatas Padjajaran
____________. 2003. “Sejarah Tatar Sunda, Jilid II”. Lembaga Penelitian Universiatas Padjajaran
Mead, Margaret; Childhood in contemporary Cultures; Phoenik book; The University Of
Rusnandar,Nandang. 2004. “Sistem Pengetahuan Masyarakat Sunda” Jurnal Penelitian, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisi
Sastramidjaja, Ali. 2003. “Ngawanohan awak sakujur” Bandung (tidak diterbitkan)
Soemardjo, Jakob. 2003. “Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda”. Kelir
Suhendi, Sumarni. 1993. “Peranan Permainan Anak dalam Meningkatkan Kreativitas dan Daya Cipta Anak” Kidex
Yugo Sariyun , Yugo. 1992. “Nilai Budaya Dalam Permainan Rakyat
Jawa Barat” ,Direktorat Sejarah dan Nilai TradisionalZaenal Arifin, ET
Rustanto. 2002. “Penemuan Candi Di Kampung Bojong Menje, Satu lagi bukti Sejarah Sunda”. LSM Pesona Budaya Sunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar