Minggu, 21 Desember 2014

Mengenal Suku Sunda yang Berasal Dari Jawa Barat


Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang.[2] Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sejarah Kata Sunda menurut bahasa Sansekerta Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, berkilau, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Kata Sunda menurut bahasa Jawa Kuno Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219). Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman kerajaan Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang. Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Pandangan Hidup Masyarakat Sunda mempunyai pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Seperti yang pada ungkapan tradisional berikut ini "Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna. Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna." Artinya: Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya.[4] Hubungan antara sesama manusia Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda tampak pada ungkapan-ungkapan berikut ini: Kawas gula eujeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih. Mulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya. Mulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan. Mulah nyolok panon buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan. Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya. Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan berikut ini : Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balareya (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat. Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka). Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun) Bahasa Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Berikut dialek-dialek bahasa Sunda dan lokasi cakupannya: Dialek Barat (Bahasa Sunda Banten) mencakup daerah Banten dan lampung Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara yaitu kota Bogor dan beberapa daerah Pantura. Dialek Selatan (Priangan) mencakup kota Bandung dan sekitarnya Dialek Tengah Timur mencakup daerah Kabupaten majalengkan dan Indramayu. Dialek Timur Laut (Bahasa Sunda Cirebon) mencakup daerah Cirebon dan Kuningan, dan beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes dan Tegal Jawa Tengah. Dialek Tenggara mencakup daerah Ciamis, beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap dan Banyumas Jawa Tengah. Kesenian Seni tari Seni tari utama dalam Suku Sunda adalah : Tari jaipongan Tari merak, Tari topeng. Wayang Golek Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seni musik Sinden merupakan ciri khas penyanyi sunda. Penyanyi ini biasanya seorang wanita dan tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari. Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda : 1. Bubuy Bulan 2. Es Lilin 3. Manuk Dadali 4. Tokecang 5. Warung Pojok Alat Musik Tradisional 1. Calung 2. Angklung Rumah Adat Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa. Sistem Kekerabatan Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Masakan Khas Beberapa jenis makanan jajanan tradisional Indonesia yang berasal dari tanah sunda, seperti sayur asem, sayur lodeh, pepes, lalaban, dll. Profesi Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, dan berladang, ini disebabkan tanah Sunda yang subur. Selain bertani, masyarakat Sunda masa kini juga menjadi pengusaha dan pedagang sebagai mata pencariannya. Profesi lainnya adalah sebagai pegawai negeri, penyanyi, seniman, dokter, diplomat dan pengusaha.

Sumber referensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sunda diakses tanggal 1 desember 2014

Sabtu, 20 Desember 2014

Permainan dan Mainan Masyarakat Sunda


    Setiap manusia selalu melewati masa kecil atau anak-anak. Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, dimana kata “anak” merujuk pada lawan dari orangtua, orang dewasa adalah anak dari orangtua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah “anak”.
 
    Pada saat sekarang ini kehidupan masa kecil anak-anak masyarakat Indonesia, banyak terenggut oleh kehidupan yang menuntut mereka untuk bekerja dan pendidikan yang mengarah kepada pendidikan formal dibanding kepada pendidikan yang mengarah kepada dalam lingkungan keluarga. Kondisi anak sekarang Cenderung di tuntut untuk menyelesaikan pendidikan formal, tanpa memperhatikan kondisi psikologis perkembangan anak. Sebagai Contoh; pada pendidikan usia dini atau lebih dikenal dengan istilah Taman Kanak Kanak (TK), seorang anak sudah di tuntut untuk bisa membaca dan berhitung dari pada bermain. Pola pendidikan seperti ini muncul dari dunia Barat, bahwa pendidikan formal harus dilakukan sejak usia dini. Sehingga akhirnya masyarakat kita sangat ketergantungan kepada yang namanya pola pendidikan Barat, sampai dengan pendidikan atau perguruan tinggi.
 
    Kita harus menyadari bahwa semua tindakan manusia akan mengalami dampak terhadap kebutuhan untuk menunjang kelengkapan demi menunjang pola pendidikan seperti itu, Seperti membeli mainan modern, buku yang mahal dan alat peraga pendidikan yang di hasilkan dari pabrik-pabrik yang berasal dari barat. Keadaan pola hidup seperti ini akhirnya mengakibatkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, hingga akhirnya ada pengelompokan orang miskin dan orang kaya. Pengelompokan ini juga akhirnya berpengaruh kepada pola pendidikan anak-anak, bagi mereka yang termasuk orang miskin tidak bisa memasukan anaknya kepada pendidikan orang kaya karena biaya pendidikan yang mahal. Mainan untuk orang-orang kaya sendiri akhinya mengalami perubahan, mereka tergantung kepada hasil perbuatan pabrik-pabrik. Sedangkan permainan untuk orang-orang miskin bersifat murahan dan kotor.
 
    Pada zaman sekarang kita harus menggarisbawahi kalau ternyata tempat bermain anak-anak sendiri sudah di sekat-sekat atau digolongkan. Bagi anak-anak dari orang kaya mereka tidak diperbolehkan untuk bermain di tempat anak-anak orang miskin karena di indentikan dengan kotor. Anak orang kaya kecenderungan bermain di tempat permainan yang sudah dikelola secara profesional, rapih dan bersih. Bagi anak-anak dari golongan orang miskin biasanya mereka bermain di tempat-tempat kotor seperti lapangan tanah, hutan, pinggir kali, dll.
 
    Keadaan yang dikondisikan oleh lingkungan pendidikan barat dan tuntutan yang lebih ini akhirnya membawa anak-anak kepada pola permainan yang jauh dari permainan rakyat atau tradisional. Mainan tradisional dinggap sebagai mainan kelas bawah, kotor, berbahaya, dan tidak berkualitas. Kondisi seperti ini akhirnya menghantarkan anak-anak kita kepada ketidaktahuan akan permainan tradisional yang sudah jauh berkembang sebelum mereka lahir.
 
    Permainan tradisional sebenarnya sebenarnya selalu berkaitan dengan alam sekitar. Ini disebabkan keakraban manusia hidup bersama alam dalam kesehariannya. Hukum alam dipahami sebagai ‘hukum Tuhan’ yang sangat dipatuhi, sehingga ketika manusia akan bersentuhan dengan alam, mereka akan sadar diri akan Tuhannya. Hubungan harmonis ini selalu dilestarikan melalui sikap hidup sehari-hari, termasuk dalam menyiapkan generasi penerus. Kesadaran itu diterapkan dalam tata asuh anak yang mampu menjaga dan menghormati alamnya.
 
    Permainan dan mainan sangat dekat sekali dengan pola perkembangan hidup seorang anak bahkan permainan ini akan mampu mengembangkan daya pikir anak anak secara tidak langsung. Permainan tradisional pada masyarakat Indonesia selain memperlihatkan dengan alam juga memperhatikan kebutuhan anak dalam mencapai perkembangan usianya, bahkan material yang digunakan untuk membuat permainan juga tergantung kepada material yang di sediakan oleh alam. Ini membuktikan bahwa pola hidup masyarakat di pengaruhi oleh lingkungan alam dan berpengaruh terhadap perkembangan anak serta mainan dan permainannya.
 
    Kondisi lingkungan bermain bagi anak yang sudah berbeda, menjadikan permainan tradisional jarang di mainkan oleh anak-anak sekarang, mereka lebih mengenal jenis permainan yang bersifat elektronik dan digital. Jenis permainan tradisional seolah-olah tersingkirkan dari lingkungan anak-anak tergerus oleh permainan modern.
 
    Kalau melihat jenis dan bentuk permainan tradisional di Indonesia berjumlah sangat banyak, di setiap daerah banyak yang memiliki kesamaan dalam bentuk tapi penamaan yang berbeda. Keragaman ini dipengaruhi oleh lingkungan alam yang menyediakan material untuk di jadikan alat permainan. Kekhasan alam dan lingkungan wilayah Sunda atau Tatar Sunda, Parahyangan berpeluang terciptanya keragaman jenis mainan dan permainan yang ada. Latar belakang dan sejarah masyarakat Sunda termasuk kehidupan ladangnya, berbeda dengan daerah lain di pulau Jawa, yang kemudian secara bertahap menciptakan pola asuh anak yang berbeda pula di setiap tempat. Demikian pula jenis dan kerakter lahirnya bentuk desain mainan dan permainan amat dipengaruhi oleh pola asuh.
 
    Untuk beberapa wilayah pedalaman atau desa-desa adat Sunda, terutama pada saat upacara adat, permainan tradisional rakyat ini sering kali di tampilkan sebagai pelengkap dari kegiatan upacara. Seperti yang terjadi pada upacara seren taun di desa Cigugur Kuningan, mereka menggunakan media gogolekan untuk persembahan kepada Hyang Pohaci. Pada masa anak-anak gogolekan tersebut merupakan permainan anak yang dimainkan ketika ikut bersama orang tuanya ke kebun atau ke sawah meskipun dengan menggunakan material yang berlainan. Hal ini pun sama terjadi pada alat-alat kesenian di Jawa Barat yang dimainkan oleh orang dewasa pada saat upacara, selamatan, perayaan, banyak yang menggunakan alat musik yang pada masa kecil digunakan dan di mainkan seorang anak.
 
    Kekayaan alam, kekayaan lingkungan, kedamaian dan kekayaan rasa yang membentuk sebuah masyarakat yang sadar akan kepentingan generasinya melalui tahapan bermain. Kekayaan budaya yang ada dan melimpah ini adalah sebuah kekayaan yang perlu di pertahankan keberadaannya karena merupakan hasil karya dan cipta masyarakat Sunda. Keberadaan mainan dan permainan tersebut tersebar ke berbagai wilayah Sunda yang berada dalam tempat yang merupakan wilayah kasepuhan yang dianggap masih mempertahankan budaya Sunda Lama, baik itu yang terbentuk dari wilayah Kabuyutan, peninggalan kerajaan Sunda, Keratuan, dan kesatuan-kesatuan yang masih patuh pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh leluhur mereka untuk di taati dan di laksanakan. Di wilayah Kasepuhan dan Kampung Adat diharapkan mainan anak khas yang lahir di daerah itu dapat membantu mempertahankan adat dan tradisi leluhur.
 
    Alat mainan tradisional langka dimainkan oleh anak-anak masa kini, bahkan di pedesaan pun jarang terlihat anak membuat mainan dari material alam disekitarnya. Mainan modern yang terbuat dari bahan-bahan plastik, kertas dan logam lebih banyak didapat oleh anak. Di tahapan pendidikan usia dini secara formal maupun informal, mainan tradisional hampir tidak diperkenalkan lagi sebagai media bermain anak, hal ini karena terbatasnya sumber dan data tentang mainan yang ada. Padahal mainan, hakikatnya dapat dijadikan media belajar bagi anak, seperti melatih melatih gerak motorik dan kreativitas. Mainan merupakan sebuah media yang dapat melatih kecerdasan dan keterampilan, namun sayang mainan tersebut bukan berasal dari budaya masyarakat setempat. Pelbagai bentuk permainan dan mainan tradisional masyarakat sangat dekat dengan alam sekitar. Alam hakikatnya menyediakan media mainan yang tak terbatas bagi anak.
 
    Namun kemajuan teknologi ternyata amat mempengaruhi perkembangan mainan dan permainan anak tradisional, baik fungsi maupun pilihan materialnya. Perubahan dan pengembangan mainan yang terjadi di masyarakat masa kini umumnya dikarenakan keberadaan material alam yang sulit diperoleh, atau fungsi mainan yang sudah bergeser. Bahkan beberapa mainan sudah punah dan ada pula yang berubah penggunaan material dasarnya meskipun fungsinya sama, terutama hal itu terjadi di perkotaan.
 
 
Permainan Dalam Masyarakat Sunda
 
    Permainan dan bermain dua hal yang tidak bisa di pisahkan dari lingkungan anak-anak, permainan rakyat di Sunda jaman dahulu menempati kedudukan yang penting, hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesian yaitu naskah yang berasal dari Kabuyutan Ciburuy yang berada di lereng gunung Cikuray Garut Selatan, menempatkan seorang yang mempunyai keahlian dalam permainan di sejajarkan dengan keahlian lain seperti ahli pantun, ahli karawitan, ahli cerita atau dalang, ahli tempa, ahli ukir, ahli masak, ahli kain dan keahlian lainnya dalam Siksa Kanda Ng Karesian tertulis “……..Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; singsawatek (ka) ulinan mah empul tanya…..” (“….Bila ingin tahu permainan, seperti: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubangubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini: segala macam permainan, tanyalah empul…” ) (Saleh Danasamita,1986: 83, 107).
 
    Naskah Siksa Kanda Ng Karesiang dinggap sebagai salah satu sumber untuk mengetahui sejarah dan bidaya di tatar Sunda. Di dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesian di sebutkan ada 11 jenis permainan yang ada pada masa itu. Permainan tersebut yaitu : Ceta maceuh, Ceta nirus, Tatapukan, Babarongan, Babakutrakan, Ubang-ubangan, Neureuy Panca, Munikeun Lembur, Ngadu lesung, Asup kan lantar, Ngadu nini. Hal yang menarik adalah adanya kesamaan nama antara nama kawih dan nama permainan (pamaceuh) adalah pada jenis babarongan, di jenis kawih juga di sebutkan adanya babarongan jadi dimungkinkan adanya jenis permainan yang harus di ikuti oleh kawih (nyanyian) babarongan. Penelusuran langsung dilakukan oleh penulis ke daerah Kabuyutan Ciburuy di lereng gunung Cikuray Garut Selatan, yaitu tempat di temukannya naskah Siksa Kanda Ng Karesian.
 
    Dalam pendidikan tradisonal, penghargaan terhadap seorang anak sangat penting hal ini seperti diungkapkan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesian bahwa anak pun bisa menjadi teladan untuk orang dewasa ungkapannya yaitu bahwa mendapat ilmu dari anak disebut guru rare. Mendapat pelajaran dari kakek disebut guru kaki, mendapat pelajaran dari kakak disebut guru kakang, mendapatkan pelajaran dari toa disebut guru ua. Mendapat pelajaran di tempat bepergian, di kampung di tempat bermalam, di tempat berhenti, di tempat menumpang, disebut guru hawan. Mendapat pelajaran dari ibu dan bapak disebut guru kamulan (Saleh Danasasmita, 1987: 104). Ini membuktikan bahwa kedudukan masing-masing akan menjadi sebuah teladan bagi lainnya, begitu pula seorang anak hakikatnya menjadi ‘guru’ bagi yang lainya.
 
    Apa yang ditulis dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesiang merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat Sunda mencintai permainan sebagai sebuah cara untuk mendidik anak dan sebagi sebuah hiburan. Permainan-permainan ini diperkirakan sangat brarti dan Berjaya pada lingkungan masyarakat Sunda pada zaman dulu terutama pada zaman kerajaan. Ini semua merupakan sebuah bentuk tingkat kecerdasaan untuk menciptakan sebuah karya yang sangat di perlukan dalam masyarakat, mereka sangat memeperhatikan alam sekitar sebagai bahan dan jenis permainannya, sehingga permainan yang ada sangat di perngaruhi oleh alam dan lingkungan sekitar.
 
Jenis-jenis Permainan di Masyarakat Sunda Lama
 
Berikut adalah beberapa jenis permainan yang berkembang di tatar Sunda:
 
Bebeletokan
 Suling
 Ketepel
 Anjang-anjangan
 Encrak
 Panggal-gasing
 Sasapian
 Angsretan
 Bedil Sorolok
 Tok-tokan
 Celempung
 Karinding
 Jajangkungan
 Kukudaan
 Sesengekan
 Kelom batok
 Kokoprak
 Empet-empetan
 Bangbara ngapung
 Ker-keran
 Sumpit
 Bedil jepret
 Rorodaan
 Gogolekan
 Keprak
 Ewod
 Kekerisan
 Simeut cudang
 Sisimeutan
 Posong
 Pamikatan
 Nok-nok
 Dog-dog
 Hatong
 Toleot
 Hahayaman jukut
 Dodombaan
 Kakalungan
 Golek kembang
 Kolecer
 Sanari

    Keragaman bentuk dengan berbagai variasi dan fungsinya merupakan hasil penghayatan yang mendalam masyarakat Sunda terhadap alamnya, dan merupakan sebuah kajian yang sangat diperlukan dimasa sekarang. Kejelian mereka bukan menaklukan alam (seperti yang banyak terjadi sekarang) tetapi menyelaraskan dengan alamnya. Pola penyelarasan itu adalah upaya mengatur keseimbangan dengan alam lingkungannya, terutama melalui bentuk, material atau media, serta keindahan yang dipancarkan pada karakter mainannya. Keindahan dari mainan masyarakat Sunda umumnya memiliki hubungan dengan mainan yang dikembangkan oleh para leluhurnya. Beberapa mainan diikut sertakan pada upacara-upacara adat sebagai persembahan, atau mainan yang peragakan untuk ‘menghibur’ para arwah leluhur.
Warisan budaya Sunda dalam bentuk permainan ini, pada saat sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh pewarisnya. Mereka lebih menyukai permainan modern yang berbentuk elektronik. Permainan Tradisional Sunda sebenarnya mengajarkan anak untuk berkeretifitas, karena selain harus bisa memainkannya seorang juga diharuskan bisa membuatnya.
 
 
Perubahan dan Pengembangan Bentuk Mainan
 
    Kita tidak bisa melawan derasnya arus teknologi, sejumlah permainan ikut membanjiri pasar anak. Untuk membendung permainan dari luar dan melestarikan permainan tradisional Sunda berubah dalam bentuk dan fungsinya, terutama dalam pemakaian bahan sintetis yang dianggap lebih mudah dan kuat. Pola perubahan terjadi dalam beberapa tahap, dari mainan yang dianggap masih asli atau dibuat dari material alam sampai perubahan bentuk modern dengan penggunaan material sintetis. Pengaruh bentuk mainan buatan luar negeripun ternyata mempengaruhi pula desain mainan anak tradisional. Peniruan terhadap berbagai jenis mainan yang ada di masyarakat Sunda berasal dari bentukbentuk yang banyak dilihat oleh seorang anak di tayangan televisi atau media cetak.
 
Perubahan dalam berbagai hal ini merupakan sebuah trobosan baru untuk menjadikan permainan tradisional di sukai oleh anak-anak. Memang dengan perubahan ini akan banyak memperngaruhi tingkat kereatifitas anak-anak sebab permainan permainan sekarang di peroduksi secara masal oleh pabrik-pabrik.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Alif, Zaini, Agus Sachari, Ichsan. 2006. “Perubahan Dan Pergeseran Bentuk Mainan Anak Masyarakat Sunda”; Jurnal Rekacipta Volume II No. 2. Kelompok Keilmuan Desain & Budaya Visual-ITB. Bandung
Ahmad, Abu. 1977. “ Ilmu Jiawa Anak”. Semarang: Cv. Toha Putra
Aprilia Fajar, Pertiwi. 1955. “ Bermain Dunia Anak”. Jakarta: Yayasan Aspiri Pemuda
Ekadjati, Edi S. 2005. “Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran”. Pustaka Jaya
___________. 2005. “Kebudayaan Sunda ( Suatu pendekatan Sejarah )”. Pustaka Jaya
Iskandar, Yoseph. 1986. “Tanah Kabuyutan Kampung Naga; Kawit”
Koentjaraningrat. 1971. “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Kebudayaan Sunda”.Penerbit Djambatan
Kubarsah R., Ubun. 1994. “Waditra Mengenal alat-alat Kesenian Daerah Jawa Barat”
Lubis, Nina H. 2003. “Sejarah Tatar Sunda, Jilid I”. Lembaga Penelitian Universiatas Padjajaran
____________. 2003. “Sejarah Tatar Sunda, Jilid II”. Lembaga Penelitian Universiatas Padjajaran
Mead, Margaret; Childhood in contemporary Cultures; Phoenik book; The University Of
Rusnandar,Nandang. 2004. “Sistem Pengetahuan Masyarakat Sunda” Jurnal Penelitian, Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisi
Sastramidjaja, Ali. 2003. “Ngawanohan awak sakujur” Bandung (tidak diterbitkan)
Soemardjo, Jakob. 2003. “Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda”. Kelir
Suhendi, Sumarni. 1993. “Peranan Permainan Anak dalam Meningkatkan Kreativitas dan Daya Cipta Anak” Kidex
Yugo Sariyun , Yugo. 1992. “Nilai Budaya Dalam Permainan Rakyat Jawa Barat” ,Direktorat Sejarah dan Nilai TradisionalZaenal Arifin, ET Rustanto. 2002. “Penemuan Candi Di Kampung Bojong Menje, Satu lagi bukti Sejarah Sunda”. LSM Pesona Budaya Sunda

Sejarah Asal Mula Urang Sunda

Sejarah Asal Mula Urang Sunda
SUDAH sejak tahun 1950-an orang Sunda gelisah dengan sejarahnya. Lebih-lebih generasi sekarang, mereka selalu mempertanyakan, betulkah sejarah Sunda seperti yang diceritakan orang-orang tua mereka? Katanya, kekuasaannya membentang sejak Kali Cipamali di timur terus ke barat pada daerah yang disebut sekarang Jawa Barat dengan Prabu Siliwangi sebagai salah seorang rajanya yang bijaksana. Betulkah? Sejarah Sunda memang tidak banyak berbicara dalam percaturan sejarah nasional. “Yang diajarkan di sekolah, paling hanya tiga kalimat,” kata Dr Edi Sukardi Ekadjati, peneliti, sejarawan dan Kepala Museum Asia Afrika di Bandung. Isinya singkat saja hanya mengungkap tentang Kerajaan Sunda dengan Raja Sri Baduga di daerah yang sekarang disebut Jawa Barat, lalu runtuh.
Padahal, kerajaan dengan corak animistis dan hinduistis ini sudah berdiri sejak abad ke-8 Masehi dan berakhir eksistensinya menjelang abad ke-16 Masehi. Kisah-kisahnya yang begitu panjang, lebih banyak diketahui melalui cerita lisan sehingga sulit ditelusuri jejak sejarahnya. Tetapi ini tidak berarti, nenek moyang orang Sunda di masa lalu tidak meninggalkan sesuatu yang bisa dilacak oleh anak cucunya karena kecakapan tulis-menulis di wilayah Sunda sudah diketahui sejak abad ke-5 Masehi. Ini bisa dibuktikan dengan prasasti-prasasti di masa itu.
Memang peninggalan karya tulis berupa naskah di masa itu hingga kini belum dijumpai. Tetapi setelah itu ditemukan naskah kuno dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno, yakni naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518 M dan naskah Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Suhamir, arsitek yang menaruh minat besar dalam sejarah Sunda menjuluki naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian sebagai “Ensiklopedi Sunda”.
Naskah-naskah lainnya adalah Cariosan Prabu Siliwangi (abad ke-17 atau awal abad ke-18), Ratu Pakuan, Wawacan Sajarah Galuh, Babad Pakuan, Carita Waruga Guru, Babad Siliwangi dan lainnya.
NASKAH Sanghyang Siksa Kana Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik disusun pada zaman Kerajaan Sunda-Pajajaran masih ada dan berkembang. Karena itu, dilihat dari kacamata sejarah, kedua naskah tersebut bisa jadi sumber primer. Sedangkan naskah-naskah lainnya yang disusun setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh termasuk sumber sekunder. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579.
Kedua naskah tersebut ditulis dengan bahasa dan huruf Sunda Kuno. Sedangkan naskah lainnya ada yang ditulis dengan bahasa dan huruf Jawa, bahasa dan huruf Arab, bahasa Jawa-Sunda atau huruf Jawa tapi bahasanya bahasa Sunda seperti naskah Carita Waruga Guru dan bahasa Melayu dan huruf Latin. Sampai tahun 1980-an, pembuatan naskah Sunda masih terus berlangsung meskipun dalam bentuk penyalinan.
Naskah Siksa Kanda Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik ditulis di atas daun lontar dan daun palem. Naskah-naskah lainnya ada pula yang ditulis di daun nipah, daun enau atau daun kelapa. Cara menulisnya dikerat/digores dengan menggunakan alat yang disebut peso pagot, sejenis pisau yang ujungnya runcing. Sedangkan naskah-naskah yang lebih muda menggunakan kertas sebagai pengganti daun dan ditulis dengan menggunakan tinta.